Bank Tabungan Negara (BTN) bertekad meningkatkan pinjaman kepemilikan rumah syariah
Hingga November 2023, aset BTN Syariah telah mencapai Rp49 triliun.
Meskipun menjadi negara Muslim terbesar di dunia, Indonesia memiliki pangsa pasar keuangan Islam hanya sebesar 10,94% dari total keuangan nasional, berdasarkan data yang dirilis oleh Otoritas Jasa Keuangan (OJK) pada 2023.
Tidak perlu dikatakan, pangsa aset perbankan syariah minimal, hanya menyumbang 7,3% dari total aset perbankan negara.
Salah satu inisiatif untuk menutup kesenjangan ini berasal dari target Bank Tabungan Negara (BTN) untuk meningkatkan pasar pinjaman kepemilikan rumah syariah (KPR).
BTN Syariah sendiri memiliki tiga skema pembayaran pinjaman kepemilikan rumah, yaitu KPR BTN Indent iB, KPR BTN Platinum iB, dan KPR BTN Property dengan skema Musyarakah Mutanaqisah.
KPR BTN Indent iB adalah fasilitas pembiayaan untuk memiliki rumah, toko, kantor, apartemen, atau flat secara syariah berdasarkan pesanan melalui kontrak Istishna (pembelian dan penjualan berbasis pesanan khusus).
Sementara itu, KPR BTN Platinum iB adalah pembiayaan yang sesuai syariah untuk kepemilikan rumah, toko, dan apartemen, baik untuk pertama, kedua, atau bahkan ketiga kalinya, dengan angsuran tetap selama periode pembiayaan melalui kontrak Murabahah (pembelian dan penjualan).
Terakhir, melalui skema Musyarakah Mutanaqisah dari KPR BTN Property, nasabah dapat membayar angsuran secara bertahap sesuai kesepakatan dengan bank.
Selain itu, BTN Syariah dikabarkan menyediakan pembiayaan perumahan yang komprehensif, mulai dari kepemilikan tanah, konstruksi rumah, pembiayaan kepemilikan rumah, hingga renovasi rumah. Bank BTN juga fokus pada penyediaan pembiayaan untuk masyarakat berpendapatan rendah (MBR).
Berdasarkan laporan keuangan yang dirilis pada September 2023, bisnis BTN Syariah masih didominasi oleh distribusi Pembiayaan Kepemilikan Rumah (KPR) berbasis Syariah atau KPR BTN iB, baik yang disubsidi maupun yang tidak disubsidi.
Komposisi KPR berbasis Syariah menduduki 92,53% dari total pembiayaan BTN Syariah, setara dengan Rp 33,11 triliun per September yang lalu.
KPR BTN iB yang disubsidi, yang ditujukan untuk segmen yang disubsidi, mencatat pertumbuhan distribusi tahunan sebesar 21,67% (year-on-year/yoy) menjadi Rp 22 triliun pada tanggal laporan keuangan tersebut dirilis.
Sementara itu, KPR BTN iB yang tidak disubsidi tumbuh sebesar 15,32% yoy menjadi Rp 11,11 triliun pada cut-off yang sama bulan September lalu.
Pertumbuhan aset
Unit Usaha Syariah (UUS), yang dimiliki oleh BTN, diharapkan dapat melampaui posisi aset sebesar Rp50 triliun pada akhir 2023. Ini didorong oleh distribusi pembiayaan yang cepat sepanjang tahun 2023.
Direktur Utama Bank BTN Nixon LP Napitupulu mengatakan bahwa hingga November 2023, aset BTN Syariah telah mencapai Rp49 triliun. "Sejalan dengan stimulus pemerintah di sektor perumahan dan minat tinggi masyarakat dalam pembiayaan syariah, saya optimis bahwa aset BTN Syariah akan melampaui Rp50 triliun pada akhir 2023," katanya.
Peningkatan aset BTN Syariah juga menunjukkan catatan kinerja yang mengesankan. Dari 2018 hingga 2022, BTN Syariah mencatat laju pertumbuhan tahunan terkonsolidasi (CAGR) sebesar 9,8% dalam pertumbuhan aset per tahun selama lima tahun terakhir. Nixon menyebutkan bahwa angka pasti posisi aset BTN Syariah akan segera disajikan dalam laporan kinerja setahun penuh 2023.
Persiapan untuk spin-off
Napitupulu telah memastikan bahwa seiring dengan meningkatnya pembiayaan, kualitas pembiayaan BTN Syariah tetap terjaga.
Dengan pertumbuhan kualitas pembiayaan yang dipertahankan, dia yakin bahwa BTN Syariah akan dapat menjadi salah satu bank Islam besar di Indonesia yang dapat memenuhi berbagai kebutuhan nasabah untuk memiliki rumah dengan skema pembiayaan syariah.
"BTN Syariah memiliki infrastruktur pembiayaan syariah yang kuat dan jaringan mitra pengembang yang luas, sehingga kami yakin bahwa kami dapat memenuhi kebutuhan masyarakat Indonesia untuk memiliki rumah dengan pembiayaan syariah," katanya.
Dengan posisi aset ini, Bank BTN UUS telah memenuhi persyaratan untuk spin-off.
Peraturan Otoritas Jasa Keuangan (POJK) No. 12 tahun 2023 menyatakan bahwa jika total aset UUS melebihi Rp50 triliun, maka wajib untuk menjalani pemisahan dengan tahapan tertentu. OJK juga mengatur batas waktu pengajuan persetujuan pemisahan, yaitu paling lambat dua tahun setelah batas waktu pengajuan laporan publik per kuartal.