
Bank Pembangunan Malaysia diminta menutup kesenjangan pembiayaan bagi UMKM
Sektor produktif membutuhkan lebih banyak modal untuk mendorong perekonomian yang melambat.
Bank-bank pembangunan di Malaysia diminta memperbesar penyaluran kredit kepada usaha kecil dan menengah (UMKM) di tengah perang dagang global yang berisiko mengancam pertumbuhan ekonomi, lapangan kerja, dan upah.
Pinjaman ini dinilai sangat penting karena bank-bank swasta cenderung lebih berhati-hati di masa “gejolak ekonomi,” kata Mohd Prasad Hanif, Sekretaris Jenderal Association of Development Finance Institutions Malaysia (ADFIM).
“Kebanyakan entitas komersial swasta akan enggan menyalurkan pembiayaan ke sektor-sektor ini,” ujarnya pada Asian Banking & Finance and Insurance Asia Summit Malaysia 2025 di Kuala Lumpur. “Segmen yang lebih berisiko ini tetap harus mengembalikan pembiayaan.”
S&P Global Ratings memangkas proyeksi pertumbuhan Malaysia sebesar 40 basis poin menjadi 4,5%, dengan alasan melemahnya prospek perdagangan global dan kenaikan tarif AS atas semikonduktor. Pertumbuhan ekonomi Malaysia melambat menjadi 4,4% pada kuartal pertama dari 5% pada kuartal sebelumnya.
Bank pembangunan memiliki mandat untuk menyalurkan kredit ke UMKM dan sektor produktif seperti pertanian serta eksportir. Mereka diharapkan dapat membantu menutup kesenjangan pembiayaan UMKM yang mencapai lebih dari US$21,5 miliar di Malaysia, berdasarkan data SME Finance Forum tahun 2024. Lembaga keuangan ini meningkatkan penyaluran kredit ke sektor sasaran sebesar 5,8% pada paruh kedua tahun lalu dibanding periode yang sama tahun sebelumnya.
Presiden AS Donald Trump telah mengumumkan tarif timbal balik besar-besaran kepada mitra dagangnya, termasuk tarif 125% terhadap Tiongkok. Malaysia sempat menghadapi tarif timbal balik sebesar 24% sebelum Trump menunda pemberlakuannya selama 90 hari pada pertengahan April.
Malaysian Institute of Defense and Security memperkirakan tarif AS dapat menurunkan pertumbuhan ekspor Malaysia sebesar 1,3 hingga 5,8 poin persentase.
Hanif menegaskan tantangan utama bagi bank pembangunan adalah menjaga rasio kredit bermasalah tetap rendah, sekaligus tetap menghasilkan keuntungan dengan bunga yang setara atau lebih rendah dari bank swasta.
Sebagai contoh, MIDF Malaysia—salah satu dari selusin bank pembangunan di negara itu—berhasil menjaga rasio kredit bermasalah di bawah 1%, sembari menyalurkan pinjaman ke sektor manufaktur dengan bunga hanya 2%, ungkap Hanif.
Ia juga menekankan perlunya pemerintah memangkas birokrasi dalam proses persetujuan kredit, serta memberi keleluasaan lebih besar kepada bank pembangunan yang saat ini dikelola bank sentral.
“[Pemerintah] harus memungkinkan lembaga keuangan pembangunan mengambil keputusan dengan cepat—setidaknya secepat sektor komersial swasta—agar mereka bisa beradaptasi di masa penuh gejolak ini,” katanya.
Jika tidak, bank-bank pembangunan tidak akan mampu menjalankan mandatnya, yaitu menyediakan layanan keuangan khusus yang krusial bagi tujuan pembangunan sosial-ekonomi negara, tambahnya.