Pembayaran alternatif mendominasi Asia karena penggunaan kartu kredit berkurang
BNPL mungkin bukan pembunuh kartu kredit seperti yang digembar-gemborkan semua orang, tetapi sistem pembayaran itu semakin menarik bagi konsumen.
Meskipun statusnya saat ini sebagai pendisrupsi fintech, Buy Now Pay Later (BNPL) tidak mungkin menyalip penggunaan kartu kredit selama beberapa tahun ke depan sendirian. Begitu juga dengan perusahaan kartu kredit. Lebih banyak konsumen di kawasan Asia Pasifik mengharapkan bisa mengurangi penggunaan plastik demi opsi pembayaran kredit alternatif lainnya.
Menurut data penyedia teknologi keuangan, FIS edisi 2022 mengenai Laporan Pembayaran Global, dompet digital saat ini tengah mendominasi e-commerce di Asia Pacific (APAC). Prosentasi transaksi dompet digital di APAC mencapai 68,5% dari berbagai segmen nilai transaksi, dibandingkan kartu kredit dan kartu charge yang hanya 12,8%. Pembayaran kartu diperkirakan akan terus menurun menjadi 11% di 2025, sementara dompet digital diproyeksikan meningkat menjadi 72% dari total nilai transaksi dalam tiga tahun.
Saat ini BNPL hanya menyumbang hampir 1% dari total nilai transaksi e-commerce di APAC. Tetapi layanan tersebut berpotensi menarik konsumen yang tidak ingin menggunakan plastik atau kesulitan mengakses kartu kredit, kata Kanv Pandit, group managing director and head of sales, Asia Pasifik, FIS.
“Ada permintaan terpendam untuk kartu kredit,” kata Pandit kepada Asian Banking & Finance dalam sebuah wawancara, dimana ia menambahkan bahwa ada dua alasan utama yang mendorong pengaksesan BNPL. “Nomor satu, kartu kredit menangani segmen pasar yang sangat sempit. Nomor dua, konsumen mencari fleksibilitas dan kesederhanaan.”
Pandit mencatat kesederhanaan adalah alasan besar mengapa BNPL menjadi menarik, karena lebih mudah bagi konsumen mendaftar pembelian dan mendapatkan kebutuhan pembiayaan mereka dibandingkan dengan mendaftar kartu kredit.
Elemen kemudahan penggunaan ini tidak hanya untuk konsumen, tetapi juga meluas untuk penjual.
“Ini memungkinkan terjadinya pertumbuhan penjualan, memungkinkan tingkat konversi yang lebih tinggi untuk pembelian saat checkout, dan pada keranjang belanja online yang dilupakan,” kata Pandit.
“Penjual kecil secara tradisional selalu menggunakan uang tunai, [tetapi] mereka harus mengadopsi pembayaran digital. Mereka telah melihat penggunaan, kesederhanaan, dan keamanan yang menyertai penggunaan pembayaran digital. Kami berharap tren ini terus berlanjut,” kata Pandit.
Meskipun masih menempati ceruk kecil dalam pasar, tapi berdasarkan studi FIS nilai transaksi BNPL diperkirakan akan berlipat ganda. Nilai transaksinya akan naik menjadi 1,8% di 2025, atau US$78 miliar dari pasar e-commerce.
Dompet digital sebagai pemenang
Di luar BNPL dan kartu, ada pihak ketiga yang diperkirakan akan menjadi kenormalan baru untuk alat pembayaran, yaitu dompet digital. Dompet digital atau e-wallet sekarang mendominasi nilai transaksi e-commerce dan pembayaran POS di Asia, meskipun yang terakhir sangat didorong oleh penggunaan e-wallet Cina. Penggunaan di negeri yang dijuluki Naga Merah itu mencapai 54% dari total nilai transaksi POS di APAC, didorong oleh pembayaran kode QR yang terkait dengan dua pemain besar dompet digital yaitu, Alipay dan WeChat Pay.
Di luar Cina, penggunaan dompet digital sedang meningkat tetapi belum terlalu dominan. Di Vietnam, Thailand, dan Indonesia, misalnya, cash on delivery terus menjadi standar transaksi e-commerce, menurut Pandit.
“Tetapi preferensi masyarakat mulai berubah. Pilihan dan ketersediaan dompet digital yang lebih banyak dan kemudahan pembelian, perlahan disadari oleh konsumen yang mulai mengadopsinya,” kata Pandit. “Kemudian Anda memiliki pasar seperti Filipina, karena upaya dan dorongan yang dipimpin oleh fintech, seperti GCash, kami melihat lonjakan penggunaan dompet digital.”
FIS juga melihat pertumbuhan dompet digital yang sangat menggembirakan di Taiwan, Hong Kong, dan Singapura—tren yang diproyeksikan akan terus tumbuh hingga 2025, Pandit menambahkan.
“APAC benar-benar merupakan pasar yang sangat dinamis dalam penerapan metode pembayaran alternatif dan dompet digital. Sungguh, itu luar biasa. Dan kami memperkirakan itu akan terus terjadi selama dua hingga tiga tahun ke depan,” katanya.
Bentuk pembayaran alternatif lain yang diperkirakan akan meningkat termasuk pembayaran real-time, dimana pangsa transaksi pembayaran POS-nya siap tumbuh di tahun-tahun mendatang. Hal itu berkat dukungan kebijakan dan regulator di pasar Asia.
“Ada 13 negara di seluruh APAC yang memiliki kualitas, penggunaan yang telah mapan, atau sedang mempelajari pertumbuhan penggunaan skema pembayaran real-time,” kata Pandit.
Saat ini, Cina dan India telah menjadi yang teratas di dunia dalam hal transaksi pembayaran global secara real-time. India telah melampaui Cina dalam hal ini dengan lebih dari 70 juta pembayaran real-time dilakukan setiap hari, hampir dua kali lipat dari 43 juta transaksi pembayaran real-time harian Cina, menurut data FIS.
Keluar dengan yang lama, masuk dengan yang baru
Tapi bagaimana dengan pembayaran tunai?
“Uang tunai secara bertahap menurun. Secara persentase metode pembayaran, penggunaan uang tunai terus turun dari tahun ke tahun,” kata Pandit, seraya menambahkan bahwa porsi uang tunai yang digunakan sebagai persentase nilai transaksi point of sale diproyeksikan turun dari 16% pada 2021 menjadi hanya sebesar 8% di 2025.
“Tapi kami tidak mengharapkan berakhirnya penggunaan uang tunai dalam waktu dekat. Ada satu elemen terakhir: fakta bahwa pembayaran elektronik digital tidak akan selalu tersedia untuk semua orang. Jadi pemerintah masih harus memastikan bahwa ada akses ke layanan keuangan. Uang tunai melayani tujuan itu. ”
Jaringan ATM akan terus menjadi saluran yang relevan untuk tahun-tahun mendatang bahkan di pasar pembayaran digital yang matang seperti Jepang, Pandit menambahkan.
Masa depan: Mata Uang Bank Sentral, Cloud
Dari kemungkinan mode pembayaran yang muncul, Pandit menyatakan kegembiraannya atas perkembangan mata uang digital bank sentral atau central bank digital currencies (CBDC) yang menurutnya akan berdampak pada lintasan pembayaran seperti yang selama ini diketahui.
Pandit mengatakan bahwa masyarakat mungkin akan melihat CBDC digunakan dalam kasus transfer uang atau pergerakan uang yang efisien di lintas negara, terutama ketika menyangkut penyelesaian institusional.
Bank sentral di Cina, Singapura, dan India telah mengambil peran utama dalam menyelidiki secara aktif penggunaan, atau benar-benar bekerja sama dengan industri dalam menguji bagaimana CBDC dapat digunakan dalam transaksi keuangan.
Regulasi pergerakan mata uang secara digital juga akan lebih baik di bawah penggunaan CBDC. “Itu mengatasi masalah penghindaran pajak yang bisa berujung pada pencucian uang, yang bahkan saat ini sangat sulit diperbaiki oleh regulator,” kata Pandit.
Dia menambahkan bahwa itu akan membantu menurunkan biaya pembayaran per industri dan lebih efisien.
Cloud diharapkan juga mengambil peran tidak hanya dalam pembayaran tetapi juga mobile banking secara umum, dimana berpotensi dapat mengurangi biaya sekaligus membuat pembayaran digital lebih cepat dan berkelanjutan di masa depan.
“Bank telah beroperasi pada inti warisan yang telah dibangun selama beberapa dekade, dan ini adalah sistem yang sangat monolitik. Bank dibangun dari teknologi dan menggunakan bahasa peninggalan (warisan), yang sangat sulit untuk didukung saat ini, karena keahlian tersebut menghilang,” kata Pandit.
“Jadi mereka tidak dapat mendukung tren, teknologi, dan adaptasi yang berkembang . Mereka tidak dapat mendukung, misalnya pada inovasi yang kami bicarakan [seperti] BNPL dan dompet digital. Bank harus melakukan banyak upaya untuk mengeluarkan produk-produk itu,“ kata Pandit menambahkan.
Melihat bank tertarik untuk pindah ke sistem inti yang lebih ringan, FIS, bekerja sama dengan Microsoft menawarkan Platform Perbankan Modern FIS milik mereka pada platform Microsoft Azure Banking, untuk membantu bank merancang, membangun, dan menggunakan produk dan layanan perbankan baru yang ramah cloud, terutama untuk perusahaan yang masih terhambat oleh sistem konvensional.