
Ivy Chan, BEA: Mengelola Risiko Perbankan dan Perubahan Akibat Perang Dagang
Ia tak pernah melihat pekerjaannya di dunia perbankan sebagai profesi yang berpihak pada laki-laki maupun perempuan.
Bagi Ivy Chan, Chief Risk Officer Bank of East Asia (BEA), tantangan dalam manajemen risiko tahun ini tidak ringan. Belakangan, Presiden AS Donald Trump kembali memperkeras kebijakan tarif di tengah memanasnya perang dagang global. Tugas Chan adalah menilai klien mana yang paling terdampak—dan siapa yang justru bisa diuntungkan.
“Kami harus segera menganalisis portofolio sendiri dan menerapkan mitigasi risiko agar bank tidak dirugikan akibat dampak yang dialami para nasabah,” ujar Chan kepada Asian Banking & Finance.
Memimpin tim beranggotakan 180 orang yang menangani nasabah di Hong Kong dan Tiongkok Daratan, Chan mengaku kekhawatiran terbesarnya saat ini adalah dampak perang tarif terhadap eksportir ke AS.
Trump memberlakukan tarif menyeluruh sekitar 20% terhadap Tiongkok, di luar bea masuk 10% yang sudah berlaku sejak masa jabatan pertamanya. Sebagai balasan, Tiongkok mengenakan tarif hingga 15% atas produk pertanian dari AS.
“Kami harus mengidentifikasi nasabah yang mungkin terkena dampak besar, dan mereka yang relatif aman—misalnya perusahaan yang sudah memiliki fasilitas produksi di Asia Tenggara selain di Tiongkok,” jelas Chan melalui sambungan telepon.
Selain risiko kredit dan operasional, Chan juga menangani seluruh risiko non-keuangan—mulai dari kesalahan hingga pelanggaran kepatuhan—bagi bank independen terbesar di Hong Kong yang juga menjadi salah satu bank keluarga terakhir di sana.
Dengan pengalaman dua dekade di bidang manajemen risiko, Chan melihat perannya sebagai “perekat” karena ia harus membicarakan risiko ini bukan hanya dengan nasabah, tetapi juga dengan dewan direksi dan regulator BEA.
Ia menegaskan bahwa profesinya tak pernah bias terhadap gender. Ketertarikannya pada perbankan bahkan lebih kuat dibanding karier di bidang akuntansi dan perpajakan setelah menghadiri kegiatan rekrutmen kampus 32 tahun lalu.
“Saya tidak pernah merasa ada bias di industri perbankan, maupun di bank tempat saya bekerja selama ini,” katanya.
Menurutnya, para atasan laki-laki kala itu justru berupaya mendorong kemajuan bankir perempuan. Tidak ada hambatan bagi mereka untuk meniti karier lebih tinggi.
“Kalau melihat ke belakang, menurut saya semua tergantung pada pribadi masing-masing: apakah kita mau mengambil kendali atas karier kita sendiri, dan apakah kita mendapat dukungan dari senior—baik laki-laki maupun perempuan,” ujarnya.
Ke depan, Chan menilai kecerdasan buatan (AI) akan memainkan peran penting dalam manajemen risiko.
“Lima atau enam tahun lalu, jarang terpikirkan menggunakan AI di perbankan untuk membantu mengelola risiko,” ungkapnya. Saat ini, AI digunakan untuk menganalisis data nasabah dan memperlancar proses manajemen risiko.
“Saya membayangkan akan ada banyak perubahan dalam beberapa tahun ke depan,” katanya.