Analis: Tarif yang lebih baik, biaya yang lebih rendah ternyata tidak cukup bagi bank digital untuk mendapat untung
Bank yang dapat memanfaatkan basis nasabah perusahaan induk memiliki peluang sukses yang terbaik.
Membangun bank digital yang sukses tidak akan terjadi dengan mengarungi perang suku bunga dengan bank petahana. Begitu juga dengan hanya menargetkan pekerjaan pada demografis yang lebih muda.
Ini merupakan sebagian mitos yang dihilangkan oleh eksekutif senior bank-bank Asia Tenggara dan pakar industri dalam diskusi panel tentang mendorong profitabilitas perbankan digital selama Singapore Fintech Festival 2022.
“Banyak orang berpikir bahwa cara bank digital untuk menang adalah dengan bersaing berdasarkan nilai yang lebih baik, dan nilai dalam hal tarif yang lebih baik, biaya yang lebih rendah, dan itulah cara bank digital untuk menang. Tapi itu hanya mitos,” kata Chew Seow Chien, senior partner, Bain & Company, kepada peserta konferensi.
"Awalnya, mungkin akan ada lebih banyak persaingan berdasarkan nilai untuk mendapatkan lebih banyak nasabah. Namun seiring berjalannya waktu untuk menang secara lebih berkelanjutan, saya pikir dasar persaingan akan berada di sekitar pengalaman nasabah," katanya menambahkan.
ALSO READ: China overseas loan commitments dwindle as firms adapt “small is beautiful” approach
“Jika bank digital dan juga bank petahana dapat menjadikan itu sebagai dasar persaingan yang nyata, itu menjadi cara yang jauh lebih berkelanjutan untuk menang dalam jangka panjang,” katanya, .
Kemenangan "Bayi Nepo"
Namun, garis depan perang yang sebenarnya tidak terletak pada sesama bank atau saingan mereka, melainkan pada kemampuan bank itu untuk menghasilkan keuntungan.
“Saya pikir pertanyaan yang sulit di sini adalah seputar profitabilitas,” kata Chew. “Ada ratusan bank digital. Tetapi jika melihat berapa banyak dari mereka yang benar-benar untung, maka dapat dihitung jumlah bank yang menguntungkan saat ini dengan dua tangan.”
Chew menyebut akuisisi skala nasabah sebagai faktor terpenting yang akan menentukan apakah bank digital menjadi menguntungkan atau tidak. Dalam hal ini, neobank yang merupakan gagasan dari perusahaan besar cenderung menang.
“Jika melihat bank digital yang untung saat ini, kebanyakan dari mereka, hampir semuanya milik kelompok induk yang telah berinvestasi selama bertahun-tahun dalam membangun platform nasabah dan membangun ekosistem nasabah yang kemudian dapat dikembangkan lagi dengan penawaran digital,” kata Chew.
“Memasarkan biaya akuisisi kepada nasabah dari sebuah produk dan layanan lain yang telah dibangun oleh perusahaan induk, dan kemudian menempatkan produk keuangan. Maka itu membuat perbedaan besar dalam hal jalur menuju profitabilitas bagi pemain baru,” katanya menambahkan.
Petahana yang belajar
Petahana juga tidak duduk diam dan tidak melakukan apa-apa dan mereka lebih dari mampu mempelajari trik baru, seperti yang dicatat oleh Darren Buckley, chief retail banking group officer untuk Vietnam Technological and Commercial Joint Stock Bank atau Techcombank.
Buckley menyoroti karirnya selama 35 tahun bekerja di bank-bank petahana. Dia mencatat bahwa pada 2005, sebuah bank tempat dia bekerja mampu menempatkan langsung ke pasar proposisi pinjaman tanpa jaminan berbasis ponsel yang sepenuhnya digital digital, dengan rata-rata penggunaan waktu aplikasi selama 17 menit. Hal ini, kata dia, menepis mitos bahwa sebelum pemain digital terjun, bank-bank petahana belum melakukan langkah apa pun untuk melakukan lompatan secara digital.
ALSO READ: Less than 10% of global energy financing went to renewables: study
Saat ini, bank tradisional telah mencoba untuk fokus pada perjalanan nasabah, dan memberikan solusi yang sangat terarah pada perjalanan nasabah yang mulus. Dia mengakui memang benar bahwa bank tradisional tidak selalu bagus dalam hal itu. Namun, mereka belajar, katanya.
“FinTech sangat bagus dalam masuk dan menghadapi masalah tertentu, dan kemudian mereka mengatakan, “Hei, lihat, ada cara yang lebih baik untuk melakukan ini. Ada cara yang lebih mulus dan intuitif untuk memberikan solusi atau layanan atau pengalaman kepada klien perbankan.”
Namun bukan berarti bank tradisional tidak bisa mempelajari hal-hal tersebut. Dan mereka juga belajar . Jadi persaingan sebenarnya sangat sehat bagi nasabah,” kata Buckley.
Buckley juga mengatakan bahwa area di mana bank tradisional lebih lambat itu disebabkan oleh peraturan dalam infrastruktur, kemampuan, dan tata kelola. Tetapi hambatan masuk yang tinggi sebenarnya memberikan keuntungan dalam hal nama brand. Ini memberi nasabah kepercayaan tertentu, katanya.
Jawaban yang jelas
Karim Siregar, presiden direktur PT Bank Jago Indonesia, menepis anggapan bahwa bank digital hanya untuk pengguna yang lebih muda, atau demografis yang dianggap lebih "memahami teknologi" daripada rekan-rekan mereka yang lebih tua.
“Kita harus mematahkan mitos bahwa bank digital hanya untuk nasabah yang digital savvy,” kata Siregar kepada peserta konferensi, “Kita tidak boleh dibatasi oleh [pola pikir] itu.”
Siregar mengamati bahwa dana sering datang dari mereka yang termasuk dalam demografi yang lebih tua, dan agar bank menjadi mandiri, mereka juga harus menargetkan demografi tersebut.
Sementara itu, Chew mencatat bahwa bank digital harus dapat menjelaskan dengan jelas alasan mengapa mereka ada.
“Apa layanan Anda yang membedakan dengan yang sudah ada di pasar. Dan apakah Anda benar-benar merancang bank digital dengan biaya operasional yang rendah?” kata Chew.
“Banyak bank digital, kita asumsikan telah dirancang untuk biaya operasional yang rendah. Namun saat kita melihat ke seluruh dunia, meskipun mereka memulai dengan cara itu, seiring berjalannya waktu, ada banyak staf operasional back office yang harus mereka tambahkan, sebagai akibat dari penambahan kompleksitas bisnis, " kata dia menambahkan.
Menghilangkan keraguan
Toh Su Mei, chief executive officer ANEXT Bank, salah satu bank khusus digital terbaru di Singapura, mencatat banyaknya keraguan yang ditempatkan pada bank digital. Khususnya, pola pikir bahwa bank digital hanya dapat menghasilkan jika mereka kehilangan uang.
“Ada yang bilang bank digital bisa menghasilkan uang tanpa kehilangan uang. Saya sudah sering mendengarnya bahkan sebelum mengambil peran ini, dari klien, bahwa bank digital lebih rentan terhadap ancaman keamanan, [hingga] kehilangan uang klien, [hingga] menutup akun tanpa rima atau alasan,” kata Toh.
ALSO READ: Real-time cross border payments edges closer to reality with ISO 20022
“Menurut saya, jika itu dilakukan dengan benar, dengan baik, bank digital akan membuka jalan menuju inklusi keuangan serta keamanan dalam layanan keuangan digital. Dan semua UKM akan diberdayakan dengan peluang pertumbuhan baru ketika bank digital baru membuat kerangka kerja,” katanya menambahkan. Dia juga mencatat bahwa UKM ini memiliki peluang untuk dianggap layak kredit oleh sistem baru yang didorong oleh bank virtual; jika tidak, maka mereka akan tetap memiliki sedikit pilihan pembiayaan di bawah sistem keuangan yang ada.
Pengalaman adalah raja
Pengalaman nasabag juga menjadi topik utama bagi Manish Bhai, pendiri & CEO Bank Digital UNO yang berbasis di Filipina. Secara khusus, Bhai mengatakan bahwa mitos bank digital menawarkan lebih sedikit pengalaman pribadi tidaklah benar.
“Salah satu mitos terbesar bagi end user adalah tentang pengalaman non-pribadi, yaitu hal yang akan mereka gunakan untuk berinteraksi dengan bank digital. Pandangan saya tentang hal ini adalah sepenuhnya bergantung pada strategi organisasi perbankan, [pada] seberapa banyak mereka ingin terlibat, ”kata Bhai.
Dia mengatakan bahwa Bank Digital UNO menciptakan pusat kontak yang didukung karyawan manusia yang mereka sebut pusat kebahagiaan nasabah untuk memenuhi kebutuhan pengalaman pribadi nasabah mereka.
“Kami merasa bahwa pengalaman pribadi adalah kunci, terutama di pasar negara berkembang, dan orang-orang belum siap untuk bertransisi [menjauh] dari cabang. Dari banyak interaksi menjadi sepenuhnya berinteraksi dengan [sebuah] hanya menggunakan teknologi,” kata Bhai.