BRI menggunakan ‘otaknya’ untuk menggabungkan kehadiran digital dan fisiknya
BRIBrain telah membantu bank mengurangi waktu pengajuan pinjaman dari 2 minggu menjadi 2 menit
Setelah menutup tahun 2021 secara gemilang dengan laba bersih $2,2 miliar (Rp 32,22 triliun), yang berarti tumbuh 75,53% year-on-year, dapat dikatakan Bank Rakyat Indonesia (BRI) telah merumuskan strategi yang ideal untuk tetap menonjol di tengah tantangan serta tren dalam dunia perbankan yang terus berkembang. Jawabannya ada pada sistem kecerdasan buatan (AI) yang disebut BRIBrain.
BRIBrain dikembangkan untuk menyimpan, memproses, dan mengkonsolidasikan semua informasi dari berbagai sumber. Ini adalah otak di balik strategi 'phygital' bank.
“Menggabungkan kehadiran fisik dan digital merupakan jawaban BRI untuk memenuhi harapan masyarakat yang sebagian lebih memilih bertransaksi secara digital dan sebagian lainnya merasa lebih nyaman dan aman untuk bertatap muka dengan petugas bank,” ujar Direktur Digital dan Informasi BRI. Technology, Indra Utoyo, dalam wawancara eksklusif dengan Asian Banking & Finance.
Big data untuk hybrid bank
Untuk mempertahankan kinerja dan memodernisasi layanannya, BRI mengalokasikan 3% pendapatan untuk investasi teknologi atau 5% hingga 7% dari biaya.
“Saat ini kita memasuki era dimana data analytics, software, design, cyber security, dan user interface/user experience memainkan peran yang sangat penting,” kata Indra. “Kami, sebagai bank tua, membutuhkan teknologi yang benar-benar menjadi game-changer dalam kompetisi ini, seperti kecerdasan buatan, blockchain, dan cloud.”
Inilah alasan mengapa bank mengintegrasikan BRIBrain khususnya dalam empat proses bank yang meningkatkan kemampuan fisik dan digital bank.
Pertama, BRILink Score, sistem penilaian Agen BRILink. Melalui sistem ini, 504.000 Agen BRILink di seluruh Indonesia didorong untuk membantu meningkatkan layanan O2O atau Online-to-Offline bank, khususnya bagi masyarakat di daerah, melalui inklusi dan literasi keuangan.
Volume transaksi Agen BRILink telah mencapai $76,74 miliar (IDR 1.143,81t) pada tahun 2021. Mereka juga mampu menghimpun dana murah (CASA) sebesar $1,3 miliar (IDR 19,38t) dan fee based income (FBI) sebesar $89,9 juta (IDR 1,34t).
Kedua, BRIBrain membuat proses penilaian kredit untuk pinjaman lebih cepat dan akurat. Pendekatan machine learning membuat kredit calon debitur lebih cepat, dengan risiko minimal, sehingga persetujuan dan pencairan pinjaman dapat dilakukan secara instan, dan risiko kredit macet dapat diminimalkan.
“Dari sisi pembiayaan pinjaman, yang sebelumnya prosesnya bisa sampai dua minggu, turun menjadi dua hari, dan akhirnya hanya dua menit untuk persetujuan,” kata Indra.
Perjalanan “dua minggu menjadi dua menit” sendiri dimulai pada tahun 2018 ketika bank mulai melakukan digitalisasi dan otomatisasi. Namun sebelum tahun 2018, bank beroperasi dengan basis yang sangat paper-based, manual, dan kompleks sehingga rata-rata penyelesaian pembiayaan memakan waktu hingga dua minggu.
Ketiga, BRIBrain membantu dalam hal Skor Profil Pelanggan bank. Ini memetakan profil pelanggan dengan tepat sehingga pendekatan komunikasi dengan pelanggan cepat dan akurat. BRI terus meningkatkan Customer Relationship Management dan Electronic Direct Mail, serta e-channel, seperti Anjungan Tunai Mandiri (ATM), dengan unit saat ini sebanyak 220.000 e-channel dan jumlah outlet mencapai 9.200 outlet.
Terakhir, BRIBrain menambahkan sistem ke Skor Fraud. Hal ini memungkinkan BRI untuk dengan cepat menemukan dan mengatasi kejahatan perbankan, seperti fraud atau penipuan, dan menyadari anomali dan kejahatan dalam transaksi dengan cepat.
“Kehadiran BRIBrain akan memudahkan pengambilan keputusan bisnis dengan tingkat risiko yang terukur dan memberikan masukan informasi yang lebih luas dalam proses pengelolaan bisnis yang prudent, aman, dan andal. Pada akhirnya dapat meningkatkan kepercayaan nasabah dan pemangku kepentingan terhadap BRI,” kata Indra.
Upaya lainnya
Cara lain untuk mengubah perilaku masyarakat bertransaksi secara digital adalah dengan mengubah petugas bank menjadi penasihat. Saat ini, BRI memiliki 37.000 penasihat keuangan berpengalaman, yang mengikuti perjalanan nasabah untuk memberikan pengalaman yang lebih personal.
BRI juga telah memasuki ekosistem digital, seperti Agri Tech, Health Tech, dan Food Tech untuk memfasilitasi rantai nilai di dalam ekosistem sebagai embedded finance. Indra menjelaskan, BRI memasuki open banking dengan transaksi yang sangat besar, mencapai $12,34 miliar (Rp 184 triliun).
Untuk investasi sumber daya manusia, Indra mengatakan BRI mengalokasikan 5% dari biaya pelatihan. Apalagi saat perkembangan dan persaingan di industri keuangan saat ini sangat pesat, BRI juga membutuhkan talenta yang adaptif, gesit, dan customer centric.
Sepanjang transformasi digital BRI, Indra menilai regulasi perbankan di Indonesia sangat mendukung. Ia mencontohkan adanya cetak biru sistem pembayaran melalui Bank Indonesia (BI) 2025. “Hal ini mendorong sistem pembayaran digital untuk terus meningkatkan inklusi keuangan, sehingga pergerakan uang berlangsung lebih cepat dan efisien, seperti dengan menggunakan e-wallet, Quick Response Code Indonesian Standard (QRIS), dan fast payment,” ujar Indra.
Otoritas Jasa Keuangan (OJK), dengan Peraturan OJK (POJK) No. 12 dan 13, juga secara tegas mendukung perizinan produk baru dari yang awalnya berbasis aturan (rule-based), sekarang berubah menjadi berbasis principal (principal-based). “Di dalamnya, kami melihat juga telah muncul penyediaan layanan yang disebut sebagai bank digital sehingga kami tidak lagi menambah KPI untuk penambahan kantor cabang,” ujar Indra.
Namun, Indra juga mengatakan ada hal yang perlu segera ditindaklanjuti dari sisi regulasi, yakni urgensi segera disahkannya undang-undang tentang perlindungan data pribadi. “Jika tidak, dalam melakukan transaksi orang akan benar-benar tidak nyaman dan percaya,” tambahnya.
Kemudian seperti yang kita ketahui, fondasi ekonomi digital ini adalah telekomunikasi. Telco sendiri berada di bawah Kementerian Komunikasi dan Informatika, sedangkan sistem pembayaran dan keuangan diatur oleh BI dan Kementerian Keuangan. Jadi, menurut Indra, tidak ada aturan tentang adanya fraud. “Perlu ada regulasi lintas sektor, agar ekonomi digital ini bisa kita tingkatkan lebih cepat dan mengatasi titik-titik lemah yang ada,” pungkas Indra.