Profit yang kuat, penurunan biaya kredit yang mendorong bank-bank Indonesia di 2024
Profitabilitas sektor telah melampaui tingkat sebelum pandemi untuk mencapai 2,7%.
Di 2024, bank-bank Indonesia diharapkan tetap tangguh menghadapi ketidakpastian global berkat profitabilitas yang kuat, penurunan biaya kredit, dan kondisi ekonomi yang mendukung secara lokal, menurut penilaian risiko industri perbankan per negara terbaru dari S&PGlobal Ratings.
"Bank-bank Indonesia memiliki modal yang kuat dan pendapatan mengalami peningkatan. Sektor ini juga mendapat manfaat dari laju pertumbuhan struktural ekonomi Indonesia yang solid," kata analis kredit S&P, Ivan Tan.
Profitabilitas sektor telah melampaui tingkat sebelum pandemi untuk mencapai 2,7% per Juni 2023.
Namun, Tan menyatakan bahwa risiko downside dapat muncul dari non performing loan (NPL) akibat berakhirnya langkah penangguhan COVID, dan kerentanan bank-bank terhadap volatilitas mata uang.
Indonesia diperkirakan akan mencatat pertumbuhan PDB yang sehat sekitar 5% dari 2023 hingga 2025, yang akan mendukung kualitas aset dan kinerja bank-bank.
Pinjaman bank-bank akan berkembang sebesar 8% hingga 10% pada 2023 dan 2024, yang menurut Tan adalah "perubahan yang cukup signifikan" dari kontraksi yang disebabkan oleh COVID pada 2020.
"Biaya kredit yang tinggi selama pandemi mulai surut. Hal ini, bersama dengan marjin bunga yang lebih tinggi, meningkatkan profitabilitas," kata Tan.
"Secara keseluruhan, kami percaya kinerja keuntungan bagi bank-bank Indonesia akan tetap kuat selama 2024 dan 2025 dengan tingkat pengembalian atas aset antara 2,5% dan 2,8%, salah satu yang tertinggi di kawasan ini," kata dia menambahkan.
Namun, sebagian dari pinjaman yang direstrukturisasi memiliki risiko dan rentan terhadap pergeseran menjadi NPL. Mereka dapat menambah hingga 1 poin persentase ke rasio NPL, menunjukkan puncak rasio NPL sebesar 3,5% pada 2023.
Namun, peningkatan ini seharusnya dapat diatasi karena bank-bank telah membangun cadangan yang berarti, dengan rasio penutupan lebih dari 200% dari NPL.
Kualitas aset bank-bank Indonesia juga rentan terhadap efek kedua dari depresiasi mata uang. Hal ini karena banyak dari para peminjam korporat bank memiliki eksposur besar terhadap utang dalam mata uang asing, sekitar 40% dari total pinjaman mereka.